This is the head of your page Example HTML page This is the body of your page.



Friday, October 21, 2016

Ziarah Banten

1.Menara Masjid Banten lama


Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten. Ia adalah putra pertama dari Sunan Gunung Jati.
Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China yang juga merupakan karya arsitek Cina yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti Masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno, bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat dan kajian Islami dilakukan di sini. Sekarang bangunan ini digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pusaka.
Menara yang menjadi ciri khas Masjid Banten terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai dapat terlihat di atas menara, karena jarak antara menara dengan laut yang hanya sekitar 1,5 km.
Dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, menara yang juga dibuat oleh Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata.
Al-Qur’an tulisan tangan
Benteng Kesultanan Banten

2.Makam Syeikh Muhammad Sholeh bin Abdurohman (Gunung Santri)


Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang Bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon.
Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.
Syiar agam Islam yang dilakukan Sultan Hasanudin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun, karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh, dan menantang Sultan Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago dan sebagai taruhannya akan dipotong lehernya, tantangan Prabu Pucuk umun diterima oleh sultan Hasanudin.
Setelah Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya Syekh Muhamad Soleh, akhirnya disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syekh Muhamad Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT.
Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru namun akhirnya ayam jago milik Sultan Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut kerumahnya.
Ayam jago tersebut berubah menjadi sosok Syekh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah Sultan Maulana Hasanudin. Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut Prabu Pucuk Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanudin, mungkin sedang naas pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan dan mundur ke selatan bersembunyi di pedalaman rangkas yang sekarang dikenal dengan suku Baduy.
Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.
Jalan menuju makam Waliyullah tersebut mencapai kemiringan 70-75 Derajat sehingga membutuhkan stamina yang prima untuk mencapai tujuan jika akan berziarah. Jarak tempuh dari tol cilegon Timur 6 KM kearah Utara Bojonegara, jika dari Kota Cilegon melalui jalan Eks Matahari lama sekarang menjadi gedung Cilegon Trade Center 7 KM kearah utara Bojonegara disarikan dari buku “Gunung Santri Objek Wisata Religius”.

3.Pemakaman Syeikh Asnawi Caringin

K.H. Syekh Asnawi lahir di Kampung Caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah. Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim K.H. Syekh Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam agama Islam. Di Mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syech Nawawi Al Bantani.
Karena kecerdasan yang di miliki beliau dengan mudah mampu menyerap berbagai disiplin ilmu yang telah di berikan oleh gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari sang guru yang bernama Syech Nawawi Al Bantani maka K.H. Syekh Asnawi Tanara Banten menyuruh muridnya K.H. Syekh Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Allah ini.
Sekembalinya dari Mekkah, K.H. Syekh Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah, karena kepiawaian dalam berdakwah dan ilmu yang dimilikinya nama K.H. Syekh Asnawi mulai ramai dikenal serta dibicarakan orang, beliau menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat khususnya Banten. Pada saat itupula tanah air kita masih di kuasai Penjajah Belanda.
Rusaknya moral dan mental masyarakat Banten pada waktu itu membuat menjadi garang serta menyulut kobaran api kemerdekaan pada setiap dakwahnya. K.H. Syekh Asnawi sering mendapat ancaman oleh pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik. Banten yang terkenal dengan jawara-jawaranya yang memiliki ilmu kanuragan dari dahulu terkenal sangat sadis dan bengis, dapat di taklukkan oleh K.H. Syekh Asnawi, dan berkat beliau kegigihan dan perjuangannya menjadi terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat disegani oleh kaum Penjajah Belanda.
K.H. Syekh Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya K.H. Syekh Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan ke Cianjur oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda , Apa yang dilakukan K.H. Syekh Asnawi mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara.
Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.
Selama di pengasingan K.H. Syekh Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Al-quran dan Tarekat kepada masyarakat sekitar dan setelah dirasa Aman K.H. Syekh Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Syalafiah Caringin sekitar tahun 1884 Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi.
Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan yang di bawa oleh K.H. Syekh Asnawi ke Caringin dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya K.H. Syekh Asnawi berdo’a memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa K.H. Syekh Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.
Tahun 1937 K.H. Syekh Asnawi berpulang ke Rahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri (Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah) dan di maqomkan di "Masjid Syalafiah Caringin", hingga kini Masjid Syalafiah Caringin dan maqom beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i’tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i’tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut.

4. Makam Syeikh Maulana Mansyur Cikadueun


Berdasarkan cerita yang turun-temurun bahwa Syekh Mansyur merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Beliau merupakan penyebar agama Islam di daerah Banten dan selain itu juga membantu dalam mengusir penjajah dari bumi Banten.

5. Batu Qur’an


Batu Qur’an adalah batu berukuran besar yang terletak di dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf arab. Diperkirakan batu bertuliskan huruf arab itu sudah berusia lebih 5 abad dan digunakan untuk pemandian.
Batu Qur’an